Sabtu, 21 November 2009

Reog Gunungkidul


Reog Gunungkidul itu identik dengan kegiatan rasulan, bersih desa, yang selalu diselenggarakan tahunan. Sore tadi kami menyaksikannya di wonosari, suatu dokumentasi dalam bentuk film yang diputar di lapangan olah raga depan rumah eyang.
Anak-anak disertai orang tuanya keluar malam itu, bila mendengar suara gamelan reog yang khas satu-satu. Musik gamelan dengan komposisi yang amat sederhana, hanya mengandalkan kendang, kenong-kempul dan gong, malam itu ditambah 'drum' atau bedug untuk lebih menimbulkan efek berdegub, seolah panggilan bagi seluruh warga desa untuk menyatu.

Mas Darminta ada di situ, di samping istri dan anaknya, menyaksikan tariannya sendiri ketika menjadi warok, salah satu episode dalam reog Gunungkidul. Badan mas dar memang gempal, sebagaimana semua pemeran warok dalam episode itu. Mas Herry, penjual ticket bus malam di terminal, badannya lebih gempal lagi, juga di sana. Mas darminta sendiri adalah sopir bus.

Para warok ini bergerak dengan kaki beringsut-ingsut, tangan mengedang menggerak-gerakkan tali besar yang dipakai sabuk celananya. Busana khas petani jawa, hitam-hitam longgar, ini sesekali berkibar oleh gerakan angin, menyingkapkan tatto di tubuh pemainnya.
Tatto, sudah biasa menghiasi dada, lengan, punggung dari para warok ini. Tatto ini kadang tersingkap dari celah baju hitam yang mereka kenakan, menambah kesan 'sangar' dari mereka.

Saya menduga, adegan atau episode warok ini dalam repertoir reog Gunungkidul, adalah adegan sisipan. Kelihatan berbeda dari episode lain dalam repertoir reog tersebut, diiringi oleh gendhing dan pukulan gendang yang berbeda pula. Mungkin diambil dari repertoir reog ponorogo, yang di sana adegan itu lebih punya tempat, ada sebab musabab yang membenarkan kehadirannya.
Episode lain dalam reprertoir reog Gunungkidul biasanya hanya berupa tarian pertempuran antara kelompok kiri dan kanan: hitam dan putih atau merah dan putih. Ini diwakili oleh pertempuran antara sekelompok pasukan hitam melawan sepasukan putih, oleh panglima pasukan hitam melawan panglima pasukan putih. Tapi kali ini, repertoir itu ditambah dengan adegan warok, 'bujangganong', kuda lumping, dan 'penthul-tembem'. Semua tambahan ini untuk refinement, untuk membuat pertunjukan lebih lama dan lebih variatif.

Pertunjukan reog di Gunungkidul, pada dasarnya, mau menggambarkan harapan, bahwa kesulitan bisa diatasi. Bahwa perjuangan tidak sia-sia: ada kalanya kalah dan ada kalanya menang. Repertoir reog Gunungkidul memang tidak memenangkan salah satu kelompok yang bertempur, entah itu kelompok hitam atau putih. Keduanya menang dan keduanya kalah, secara bergiliran. Suatu cerminan cara mereka menyikapi situasi mereka sendiri yang secara berkala menghadapi masalah dengan cuaca: kadang terik gersang, kadang hijau karena hujan. Mereka tidak ingin mengalahkan alam yang menyulitkan hidup mereka, tapi mencoba memahami dan menjalani hidup bersamanya.

2 komentar:

Diajeng mengatakan...

Wah...Gak bener iki.Saingan karo Ponorogo nuh...

bagoezra mengatakan...

Apik Gunungkidul.. Wehehe..

Posting Komentar

Template Design by SkinCorner from Jack Book